Setahun Lalu, Sensasi Hari Pertama jadi Wartawan

Tepat di tanggal ini setahun yang lalu adalah hari pertama saya masuk kerja. Menjadi seorang reporter di sebuah media online di Kota Bandung. Wartawan. Wow, meski bukan hal baru buat saya (karena sebelum saya pindah kerja di tempat ini, sebelumnya saya juga reporter  sebuah tv cable-red) tapi itu cukup membuat hati saya berdebar-debar. Apalagi sistem kerjanya jauh berbeda. Masih ingat jelas bagaimana perasaan saya waktu itu ketika mulai berpamitan pada orang tua untuk berangkat kerja. Ecxited, penuh rasa penasaran sekaligus takut bercampur aduk dalam dada. Sesampainya di kantor sekitar pukul 9.00 WIB, saya pun lalu berkenalan dengan beberapa teman. Pertama, saya diminta membaca terlebih dahulu gaya pemberitaan media tersebut, di sebuah laptop saya pun berselancar,  mengamati sekaligus mempelajarinya. Korlip (Koordinator Liputan) pun kemudian mulai menginstruksikan saya untuk liputan. Sendiri. Mencari berita lifestyle. Berita lifestyle adalah berita ringan yang temanya antara lain bisa kuliner, heritage, FO, Distro, café, music dan lainnya.

Saya pun mulai menyusuri Jalan Ir Djuanda atau yang lebih sering dikenal dengan Dago. Disitu menurut koorlip saya itu, masih banyak tempat yang belum diliput. Namun ternyata susah-susah gampang. Memang banyak tempat yang belum diliput –seperti FO misalnya- tapi kebanyakan pemilik tempat atau manager sedang tidak berada di tempat sehingga sulit untuk wawancara. Sepanjang perjalanan itu saya tempuh dengan berjalan kaki. Sendiri. Karena jarak FO, Distro, kafe, restoran dan lainnya di Dago memang berdekatan, rasanya malah mubazir kalau saya naik turun angkot. Ya, hari pertama kerja, saya belum membawa motor.

Siang itu panas matahari terasa menyengat, saya susuri satu demi satu tempat dengan semangat yang terpancar lewat senyum, meski peluh mulai membasahi dan menggoda untuk mulai mengeluh. “Siang mba, saya tya wartawan detikbandung.com, ada yang punya atau managernya? Saya ingin bikin tulisan tentang FO ini,” tanyaku setiap kali saat memasuki FO. Namun seringkali jawabannya “Lagi ngga ada ditempat tuh mba, kalau mau bikin janji aja dulu. Nanti disampaikan,” kata karyawan FO itu. Saya pun lalu menitipkan sebuah deretan no yang dapat dihubungi. Satu, dua, belasan tempat saya datangi. Singkat kata, hari itu saya berhasil meliput sebuah restoran, café dan foodcourt. Alhamdulillah.

Sekitar pukul 15.00 WIB, saya pun kembali ke kantor untuk menuliskan hasil liputan saya itu. Buka laptop, mulailah jari ini mengetikkan kata. Tapi untaian kalimat itu tak mengalir lancer. Tersendat. Kadang sebuah paragraf yang sudah tersusun itu saya hapus lagi karena merasa tidak pas. Huuft..sulit juga ternyata. Kubuka contoh-contoh tulisan sebelumnya, sambil sesekali ikut mengobrol. “Liputan kemana aja kamu hari ini?,” tanya Kabiro. Setelah menjawab dia pun lalu berkata. “Wah, hebat sehari udah 3 tempat,” katanya sambil tersenyum. Lumayan kalimat yang entah pujian atau sindiran membuat saya semangat lagi.
Tulisan-tulisan itu akhirnya selesai sekitar pukul 19.00 WIB. Namun aku masih belum beranjak dari tempat duduk, karena yang lainnya juga saat itu masih belum terlihat ada tanda-tanda akan pulang. Hingga sekitar pukul 19.30 WIB saya pun memberanikan diri meminta izin pada Kabiro untuk pulang lebih dulu karena angkot yang melintas ke kompleks rumah saya terbatas jamnya.

Entah kenapa, saat dalam perjalanan pulang, hati saya merasa gelisah. Bahkan sesekali saya menitikkan air mata. Tak tahu menangisi apa. Yang saya ingat, saat itu saya sedang bertanya pada hati kecil saya. “Sebenarnya tya bisa ngga yah jadi wartawan kaya gini?”. Karena sebelumnya saya selalu bekerja dalam 1 tim, saya (sebagai reporter), kameraman, dan supir yang akan selalu mengantar. Jujur saat itu saya merasakan perbedaan sistem yang tak biasa. Sampai di rumah, saya pun disambut oleh keluarga yang dengan semangat menunggu cerita pengalaman hari pertama saya itu. “Gimana ya?,”  Tanya mamaku.  “Kok baru hari pertama pulangnya malem,” sambunya. Saya pun seperti biasa, bercerita dengan semangat tentang hari yang seru itu sambil menutupi kegelisahan yang dirasakan.
Hingga akhirnya waktu tidur tiba, diri ini tak lagi bisa menahannya. Saya menangis. Takut. Takut tidak bisa menjadi apa yang diharapkan oleh mereka semua. Takut semua tak berjalan lancar. Dan semua ketakutan itu terbawa sampai saya tidur dan bermimpi.
Hingga akhirnya, setahun telah berlalu. Waktu cepat berlalu? Tidak juga, karena saya masih merasakan proses-proses itu berjalan hingga kini. Apalagi saya bukan lagi meliput di lifestyle/soft news, dimana liputan hari ini adalah untuk naik (publish) esok hari.  Liputan news membuat deadline berjarak sedetik setelah wawancara selesai. Membuat otak di dalam kepala ini dipaksa terus bekerja untuk berpikir.  Saya masih menikmatinya. Sungguh, tidak akan ada penyesalan atas pilihan ini. Sebuah pengalaman yang begitu berharga. Bertemu dengan orang yang berbeda, isu berbeda, karakter berbeda, kondisi berbeda dan berita yang selalu berbeda setiap harinya.Saya bangga menjadi wartawan. Jurnalis. Sebuah pekerjaan yang terlalu menarik. Setahun, tak juga membuat saya menjadi jagoan. Justru semakin sadar bahwa saya masih begitu bodoh hingga harus selalu terus belajar. Pertanyaannya, sampai kapan saya akan ada ‘di sini’ ?

Entahlah…



                                                                                                -tya-

Share this post